Delapan
Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te’]
Seorang
Budiman [C’un Zi] selain dituntut memiliki Lima Sifat Mulia [Wu Chang], juga harus memperluas sifat mulia
tersebut menjadi Delapan Sifat Mulia Kebajikan atau Pa Te’. Sifat mulia yang tercakup dalam Pa Te’, sebagian besar sudah teruraikan
dalam Wu-Chang, kecuali sifat mulia Jen (Cinta
Kasih), yang oleh
sebagian kalangan dianggap suatu sifat mulia pokok terpenting yang sepenuhnya
berdiri sendiri dengan hakikat sejati sifat Jen tersebut. Sifat lainnya dari Wu Chang yang tidak tercakup dalam Pa Te’ yaitu sifat Chih (Kebijaksanaan). Delapan Sifat
Mulia Kebajikan atau Pa Te’ , terdiri dari :
Hsiao : Bhakti , yakni berbhakti terhadap orangtua,
leluhur, dan guru.
Ti : Persaudaraan , yakni senantiasa berlaku hormat
terhadap yang lebih tua sebagai saudara atau
adanya sifat
rendah hati.
Cung : Kesetiaan, yakni kesetiaan terhadap atasan, teman
dan kerabat.
Hsin : Dapat Dipercaya, yakni senantiasa memiliki
sifat-sifat dan bertingkah laku yang dapat dipercaya
Li : Susila, yakni bersusila atau bertata-krama, sopan
santun dan berbudi pekerti yang luhur
I : Kebenaran, yakni senantiasa menjunjung tinggi
kebenaran sejati atau suatu sifat solidaritas
Lien : Sederhana, yakni sifat hidup yang sederhana dan
senantiasa menjaga kesucian, yaitu tidak
menyimpang atau menyeleweng.
Ch’e : Tahu Malu, yakni suatu sifat tahu diri atau tahu
malu untuk tidak berbuat asusila.
1. Bhakti [Hsiao)
Hsiao, merupakan suatu sifat kepatuhan, bhakti, dan peduli
terhadap orang tua , leluhur, dan guru. Hsiao merupakan suatu dasar perbuatan
moral seseorang yang berpengaruh terhadap kerukunan sosial. Hsiao meletakkan kepentingan terhadap
orangtua dan leluhur di atas dirinya sendiri, pasangan hidupnya, dan anak-anaknya,
tunduk kepada nasihat orangtua, dan melayani mereka secara susila [Li].
Confucius
memunculkan sifat Hsiao sebagai suatu sila moralitas dengan menempatkannya
sebagai dasar pembentukan sifat Jen, yaitu penggalian sifat cinta kasih
kepada orang lain. Hal ini dapat dipandang sebagai suatu pengembangan moralitas
yang serasi. Confucius juga menguraikan pentingnya sifat Hsiao bagi kerukunan keluarga, dan
stabilitas sosial-politik, dimana dalam prakteknya lebih diutamakan kepada
ritual keagamaan dan sifat yang berkaitan dengan hal tersebut.
Seseorang
harus menjaga nama baik keluarga, menghormati serta merawat mereka sewaktu
masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal. Seseorang akan tetap dianggap
durhaka dan tercela, tidak tergantung bagaimana pintar dan cakapnya orang
tersebut, apabila dia tidak mempunyai sikap bhakti terhadap orangtuanya
sendiri.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Bila orang
tua anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika anda harus berpergian
jauh, anda harus memberitahu mereka di mana anda berada, supaya mereka tidak
merasa khawatir mengenai anda.” (Lun Yu IV/19).
Rasa hormat
dan bhakti terhadap seorang guru yang membimbing kita bisa diwujudkan dalam
berbagai cara, yang tentunya berperilaku yang baik. Menyampaikan suatu barang
yang dapat dimanfaatkan oleh guru dengan tujuan untuk menghormatinya, maka hal
tersebut akan merupakan suatu sifat bhakti yang melebihi segala-galanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda ” Kepada
siapapun yang memberikan sesuatu hadiah untuk menghormati gurunya. Saya senang
sekali menerima dan melatihnya.” (Lun Yu VII/7).
Perlakuan
bhakti tidak hanya asal kelihatan dari bentuk luar saja, namun rasa bhakti yang
dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh hormat, itulah bhakti yang sebenarnya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Sekarang
yang dikatakan laku bhakti adalah asal dapat memelihara, tetapi anjing dan
kudapun dapat memberi pemeliharaan. Bila tidak disertai hormat, apa bedanya?”
Buddhisme juga sangat menekankan mengenai perlunya
berperilaku patut / sopan dengan menunjukkan suatu bhakti terhadap orangtua,
Sang Buddha dan para siswa Sang Buddha (Sangha), yang mana dikaitkan dengan
menimbun kebaikan, sebagaimana sabda Sang Buddha, “Jika
seseorang berperilaku patut terhadap ayah dan ibunya, terhadap Sang Buddha yang
telah mencapai kesempurnaan, dan terhadap para siswa Sang Buddha; orang seperti
itu menimbun banyak sekali kebaikan. ” (Anguttara Nikaya II, 4).
2. Persaudaraan [Ti]
Ti mengandung arti kata persaudaraan, yaitu rasa hormat
terhadap yang lebih tua di antara saudara, ataupun sikap merendah diri. Ini
berarti bahwa seorang adik harus menghormati kakaknya dan juga di dalam tata
krama pergaulan yang lebih muda seyogyanya menghormati yang lebih tua .
Kehidupan
dan kematian tidak dapat dihindari (takdir), demikian kekayaan dan kehormatan
adalah sesuai dengan karma kehidupan sebelumnya (telah ditetapkan oleh Yang
Maha Kuasa, dalam arti oleh akumulasi karma kita sendiri, karena karma kitalah
Yang Maha Kuasa). Adakalanya seseorang bersedih, karena tidak memiliki saudara
kandung. Tetapi kalau kita selalu berlaku hormat dan berbudi terhadap setiap
orang, maka kita senantiasa memiliki saudara di setiap tempat yang kita
singgahi.
Kepada
seseorang yang menanyakan mengenai saudara laki-lakinya, Murid
Confucius, Zi Hsia berkata kepada Sze Ma Niu yang dengan penuh keingintahuan menanyakan; kenapa
dia tidak memiliki saudara sedangkan yang lain punya, ” Saya
mendengar bahwa hidup dan mati adalah takdir; kekayaan dan kehormatan
ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Jika seseorang berbudi yang mempunyai
kemampuan hormat dan tidak melakukan kesalahan dan memperlakukan orang secara
terhormat, maka semua yang ada dalam empat lautan, bisa menjadi saudara
laki-lakinya. Mengapa orang yang berbudi itu harus susah karena dia tidak
mempunyai saudara laki-laki ? ” (Lun Yu XII/5).
3. Kesetiaan [Cung]
Cung mengandung arti setia, yaitu setia terhadap atasan,
guru, teman dan kerabat. Cung juga berarti dapat melaksanakan apa yang telah
dijanjikan dan dapat memegang teguh janji yang diucapkan.
Seseorang
yang penuh kesetiaan senantiasa menunjukkan kesungguhan hati dan kerukunan
terhadap gurunya, teman maupun saudaranya.
Zi Lu bertanya, “Bagaimanakah seseorang itu pantas
disebut sebagai seorang Siswa?” Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seseorang
yang penuh kesungguhan hati, kesetiaan dan kerukunan, maka dapatlah disebut
seorang Siswa. Dengan kawan dia menunjukkan kesungguhan dan kesetiaan, dengan
saudara dia menunjukkan kesabaran dan kerukunan.” (Lun Yu XIII/28)
Tingkah laku
seseorang akan dapat diterima oleh siapapun apabila dia senantiasa memegang
teguh dan senantiasa bersikap penuh kesetiaan terhadap semua perkataan ataupun
perbuatan yang dilakukannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Hendaklah
seseorang itu senantiasa memegang teguh perkataannya dengan Kesetiaan dan dapat
dipercaya; perbuatanmu hendaklah selalu diperhatikan dengan kesungguhan hati.
Dengan demikian di manapun, tingkah lakumu akan dapat diterima. Kalau
perkataanmu tidak dipegang dengan Kesetiaan dan dapat dipercaya, perbuatanmu
tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, maka sekalipun di kampung halaman
sendiri mungkinkah dapat didengar?” (Lun Yu XV/6 (2)
Sikap setia
dalam melakukan tugas bukanlah diukur dari cepat diselesaikannya suatu
pekerjaan, ataupun hanya dengan melihat keuntungan yang biasa saja. Sikap yang
demikian, akan menjadikan seseorang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik
(karena terburu-buru), dan tidak akan mencapai sesuatu yang luhur (karena mengharapkan
keuntungan yang biasa saja).
Pada waktu Zi Hsia menjadi gubernur Ju Fu, dia meminta
nasehat Guru Khung Fu Zi mengenai pemerintahan, maka Guru Khung
Fu Zi bersabda, ” Janganlah tergesa-gesa mengharapkan hasilnya;
janganlah hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja. Jika anda ingin
mendapat hasil yang cepat, anda tidak akan bisa menyelesaikan tugas anda. Dan
jika hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja, anda tidak akan bisa
mencapai sesuatu yang luhur.” (Lun Yu XIII/17).
4. Dapat Dipercaya [Hsin]
(Lihat
pembahasan mengenai Hsin pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia) .
5. Susila [Li]
(Lihat
pembahasan mengenai LI pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia)
6. Kebenaran (I)
(Lihat
pembahasan mengenai I pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia).
7. Kesederhanaan [Lien]
Lien berarti pola hidup sederhana, dapat menahan diri untuk
tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan atau senantiasa menjaga kesucian
dalam kepribadian kita.
Kehidupan di
kota besar yang penuh dengan berbagai godaan, sering menyebabkan kelemahan
batin seseorang untuk melakukan penyelewengan, berfoya-foya menghabiskan harta
kekayaan, ataupun senang mengubar hawa nafsu belaka. Pengendalian diri melalui
meditasi pada saat usia muda, akan dapat mengendalikan Chi’ (suatu komponen dasar dari alam semesta
yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah), sehingga tidak
terbawa oleh hawa nafsu yang sering memuncak pada usia muda. Demikian juga pada
waktu usia tua, dimana Chi’ telah berkurang, maka kitapun tetap harus menjaga
diri dengan pengolahan diri ke dalam (meditasi).
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tiga hal
yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : Bila
dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil, untuk itu dia harus menjaga
dirinya terhadap hawa nafsu. Setelah cukup dewasa, darah dan Chi’-nya memuncak,
untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia
tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya.” (Lun Yu
XVI/7).
Ajaran Sang Buddha juga menekankan perlunya sikap
sederhana atau tidak berfoya-foya sewaktu masih muda, sebagaimana sabda Sang
Buddha berikut : “Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta
tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti
bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya. Mereka yang tidak
menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi
masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa
lampaunya.” (Dhammapada, 155-156).
Mahabhikshu Menyadarkan
Terdapat seorang anak muda yang terkenal buruk
tabiatnya dimana senang menghambur-hamburkan kekayaaan orangtuanya, sampai
orangtuanya sendiri tidak mampu untuk menasehatinya supaya menghilangkan sifat
buruknya tersebut. Hingga suatu hari, ibunya memutuskan untuk mengundang kakak
kandungnya yang telah hidup sebagai seorang bhikshu untuk datang ke rumahnya
guna menyadarkan keponakannya tersebut.
Mahabhikshu sesudah menginap tiga hari tiga malam,
sama sekali tidak memanggil keponakannya tersebut secara khusus untuk
memberikan suatu nasehat yang bermanfaat. Sampai hari terakhir, Mahabhikshu
bermaksud kembali ke viharanya, dan sebelum berpisah beliau memanggil
keponakannya tersebut, “Ming-zi, saya sudah mau berangkat, bisakah Ming-zi
tolong pakaikan tali sepatu saya ini?” Keponakannya menuruti permintaan
Mahabhikshu tersebut dan memakaikan tali sepatunya. Sesudah selesai,
Mahabhikshu berkata dengan penuh kasih sayang, “Begitulah Ming-zi kalau
seseorang itu sudah tua, tangan menjadi bergemetaran sehingga mau berbuat apa
saja sudah susah. Jagalah dirimu baik-baik, dan berbuatlah sesuatu yang berguna
semasa masih muda.” Sesudah itu berangkatlah Mahabhikshu tersebut.
Semenjak saat itu, Ming-zi berubah menjadi anak muda
yang baik dan sama sekali telah menghilangkan kebiasaan buruknya
menghambur-hamburkan harta kekayaan orangtuanya, dan menjadi seorang anak yang
patuh kepada orangtuanya.
8. Kesadaran Diri / Rasa malu [Ch'e]
Ch’e mengandung arti tahu malu, yaitu suatu sikap mawas
diri untuk merasa malu apabila melakukan suatu perbuatan yang melanggar susila
atau budi pekerti.
Seseorang
yang tidak memiliki rasa malu, maka kehidupannya akan sulit sekali. Segala
perbuatan yang melanggar susila ataupun budi pekerti, akan dianggapnya biasa saja.
Hal ini sering menimpa para pejabat tinggi negara yang bermental korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), dimana apabila terjadi perombakan (reformasi),
maka kehidupannya tidaklah akan tenang.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bagi
seseorang yang tidak mempunyai apa-apa untuk merasa malu dan tidak mempunyai
apa-apa yang disembunyikan. Ini berarti bahwa tingkah laku sehari-harinya diuji
keras.” (Lun Yu XIV/21).
Sering kita
menemui orang-orang ataupun pejabat tinggi pemerintahan yang tidak pernah
merasa malu mengucapkan sesuatu dimana terkesan hanya untuk menyenangkan pihak
lain. Usaha untuk membela diri dari perbuatannya yang melanggar budi pekerti,
sudah sering kita baca dan dengar dari berbagai pernyataan yang diberikan oleh
seorang pejabat tinggi negara yang tidak tahu malu, tidak memiliki kesadaran
diri. Perbuatan yang dilakukan sama sekali jauh dari kenyataan atas apa yang
diucapkannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, Seorang
Budiman [C'un Zi] akan malu bila apa yang diucapkannya melampaui perbuatannya.”
Sikap tahu malu juga sangat dituntut dalam ajaran Sang
Buddha, dimana dikatakan bahwa sangatlah sulit untuk hidup selalu tahu malu,
tetapi hidup itu mudah bagi yang tahu malu. Hal ini mencerminkan betapa
sulitnya kita dapat membina sikap tahu malu. Budaya tahu malu, tidaklah semudah
pengucapannya. Sang Buddha bersabda, ” Hidup ini mudah bagi orang yang
tidak tahu malu, yang suka menonjolkan diri seperti seekor bubuk gagak, suka
menfitnah, tidak tahu sopan – santun, pongah dan menjalankan hidup kotor. Hidup
ini sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa mengejar kesucian, yang
bebas dari kemelekatan, rendah hati, menjalankan hidup bersih dan penuh
perhatian ” ( Dhammapada, 245)
Pelaksanaan Delapan Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te'] tersebut di atas sangat penting sekali
untuk dapat dimengerti, diingat dan dilakukan secara konsisten dalam kehidupan
sehari-hari, agar dapat menjadi seorang manusia yang Budiman (C’un Zi).
dikutip dari
buku “Tiga Guru, Satu Ajaran” oleh Sutradharma Tj. Sudarman, MBA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar